Mari berdiskusi dan bertanya


    Edisi Khusus Kemerdekaan:

    Rabu, 17 Agustus 2016

    17 Kasus Hukum yang Bikin ‘Geger’

    Nanda Narendra Putra
    Kebanyakan, kasus tersebut ditangani oleh KPK
    Mantan Ketua MK Akil Mochtar. Foto: RES.
    Perhatian publik tengah tertuju pada sidang perkara pembunuhan berencana atas nama terdakwa Jessica Kumala Wongso. Upaya mengungkap fakta di balik kematian Wayan Mirna Salihin akibat ‘kopi sianida’ itu kini memasuki agenda pemeriksaan atas sejumlah saksi dan ahli. Saksi dari kafe Olivier, saksi kunci Hani Boon Juwita, hingga ahli IT telah didengarkan keterangannya di hadapan majelis hakim Kisworo, Partahi Tulus Hutapea, dan Binsar Gultom. Kini, publik masih sabar menunggu bagaimana akhir dari drama persidangan yang telah digelar sebanyak belasan kali itu.

    Sebetulnya, sangat banyak kasus dalam persidangan yang menarik untuk diikuti. Menarik, bisa diukur dari berbagai hal, bisa karena perkara itu belum pernah ada sebelumnya atau perkara itu melibatkan orang-orang penting pada insitusi publik atau pihak swasta tertentu. Kebanyakan, kasus yang mencuat dan menarik perhatian memang yang melibatkan tokoh dan petinggi bangsa.

    Hukumonline mencoba menelusuri sejumlah kasus yang mungkin sempat ‘geger’ pada masa itu. Tentu, ukuran gegerini maksudnya terbatas pada kasus yang masuk kategori ‘mega skandal’ yang melibatkan tak cuma satu aktor, melainkan oknum dari pihak penegak hukum serta aktor-aktor penting lainnya. Penasaran? Yuk simak sejumlah kasus yang menarik dan membuat geger versi hukumonline:

    1. Kasus Korupsi ‘Pertama’ KPK, Abdullah Puteh
    Mantan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Abdullah Puteh adalah kasus pertama sejak KPK dibentuk Desember 2003 silam. Kasus ini menjadi sorotan karena menjadi kasus pertamayang disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sekira tahun 2004. Bahkan, kasus itu menjadi satu-satunya kasus yang disidangkan kala itu. (Baca Juga: Terbukti Korupsi, MA Tolak Kasasi Abdullah Puteh)

    Singkatnya, peran Puteh dalam kasus korupsi pembelian helikopter MI-2 buatan Rusia mengantarkan ia ke penjara. Ia sebelumnya juga sempat mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, lewat argumen yang dipakai saat itu adalah tidak sahnya penyidikan yang dilakukan KPK lantaran Pengadilan Tipikor saat itu belum terbentuk. Tepat 13 September 2015, MA menolak kasasi yang diajukan oleh Puteh namun menerima permohonan kasasi yang diajukan penuntut umum sekaligus membatalkan putusan pengadilan korupsi tingkat banding No. 01/TIK/TPK/2005/PTDKI tanggal 15 Juni 2005.  Kasasi tersebut diajukan oleh keduanya namun dengan pertimbangan yang berbeda.

    2. Kasus Anak ‘SR’ dan Gugatan Kepolisian
    Tindakan sewenang-wenang berujung penganiayaan aparat kepolisian saat menangani perkara anak usia 15 tahun, ‘SR’ alias Koko cukup mencuri perhatian publik. Sekira 8 Juni 2009 silam, Koko ditangkap aparat dari Polsek Sektor Bojong Gede dan dituduh mencuri perangkat elektronik. Koko bukanlah pelaku yang sebenarnya lantaran beberapa hari setelah penangkapan itu, pelaku sebenarnya telah tertangkap dan menyatakan bahwa Koko tidak terlibat sama sekali.

    Beruntung, Putusan PN Cibinong No.2101/Pid.B/2009/PN.CBN pada 10 Agustus 2009 membebaskan Koko dari segala tuntutan jaksa dan meminta agar memulihkan hak-hak terdakwa secara kedudukan, harkat, serta martabat. Putusan itu sempat mendapat perlawan dari Kejari Cibinong dengan mengajukan kasasi. Hasilnya, 20 Januari 2010 hakim agung menolak kasasi tersebut. Koko dan keluarganya tidak tinggal diam atas apa yang terjadi.

    Melalui LBH Jakarta, pada 29 februari 2012 keluarga Koko menggugat secara perdata ke PN Cibinong. Sebagai catatan, gugatan perdata kepada pihak kepolisian merupakan yang pertama kali. Sayangnya, PN Cibinong lewat putusan No. 36/Pdt.G/2012/PN.Cbn menolak gugatan tersebut. Namun, langkah berani dan pertama tersebut menjadi preseden ketika Kepolisian melakukan tindakan sewenang-wenang saat menangani perkara. Buktinya, gugatan perdata serupa di Padang, berhasil dikabulkan dan pihak Kepolisian mesti membayar ganti rugi Rp 100.700. (Baca Juga: Polisi Pelaku Penyiksaan Bisa Digugat, Ini Preseden Putusannya)

    3. ‘Kemenangan’ Prita Mulyasari
    Senin, 17 Septembar 2012 silam majelis Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) membebaskan Prita Mulyasari dari seluruh dakwaan alias bebas murni. Melalui putusan PN Tangerang Nomor:1269/PID.B/2009/PN.TNG, majelis hakim menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan Prita dengan emailnya bukan termasuk pengertian menista.

    Perjalanan kasus Prita cukup panjang. Awalnya, Prita diseret ke pengadilan atas tuduhan melakukan tindak pidana pencemaran nama baik di Pengadilan Negeri Tangerang gara-gara mengeluhkan pelayanan buruk RS Omni Internasioanal dengan menyebarkan sebuah email. Alhasil, Majelis PN Tangerang membebaskan Prita pada 2009, tetapi jaksa mengajukan upaya hukum kasasi dan kasasinya dikabulkan MA. (Baca Juga: Akhirnya, MA Bebaskan Prita Mulyasari)

    Selain perkara pidana, gugatan perdata juga dilayangkan RS Omni Internasional. MA menolak gugatan perdata Omni tersebut pada 29  September 2010 yang diputus oleh Ketua MA kala itu Harifin A Tumpa. MA membatalkan putusan PN Tangerang dan Pengadilan Tinggi Banten yang mengabulkan gugatan Omni dan memerintahkan Prita membayar ganti rugi atas perbutan pencemaran baik yang dinyatakan terbukti dilakukannya. Kasus ini memantik aksi solidaritas koin peduli prita yang berasal dari hasil sumbangan masyarakat, mantan Menteri Perindustrian Fahmi Idris, serta posko yang dibuka di berbagai daerah. Sumbangan senilai Rp825.728.550 juta terkumpul. Konser koin untuk keadilan Hard Rock Café 20 Desember 2009. Empat kali lipat denda yang harus dibayar prita ke Omni sebesar Rp204 juta. (Baca Juga: Putusan Pengadilan ‘Landmark’ Terkait Penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE)

    4. Kasus Antasari Azhar
    Mantan Ketua KPK, Antasari Azhar divonis oleh hakim selama 18 tahun lantaran terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan berencana terhadap bos PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnain pada 14 Maret 2009. Kasus ini menjadi perhatian banyak kalangan selain karena Antasari merupakan pimpinan lembaga yang sedang dinanti-nantikan kinerjanya, sekaligus adanya dugaan rekayasa kasus untuk menjegal karier Antasari.

    Saat masih menjabat, Antasari memang dikenal cukup berani untuk menindak siapapun termasuk saat berupaya membongkar skandal di balik kasus Bank Century dan IT KPU yang tendernya dimenangkan oleh perusahaan milik Hartati Murdaya. Singkat cerita, majelis hakim memvonis Antasari selama 18 tahun, lebih rendah dibanding tuntutan pidana mati yang diajukan oleh penuntut umum. (Baca Juga: Antasari Azhar Diganjar Vonis Paling Berat)

    5. Kasus Susno Duadji
    Perseteruan KPK dan Polri berangkat dari penyadapan yang dilakukan KPK terhadap mantan Kabareskrim Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji akibat diduga menerima gratifikasi dari nasabah Bank Century, Boedi Sampoerna karena berhasil memaksa Bank Century mencairkan dana nasabah itu sebelum akhirnya ditutup.

    Dari kasus situ, muncul pertama kali istilah “cicak vs buaya” atas pernyataan yang dilontarkan Susno kepada awak media. Selain itu, dari kejadian itu pula akhirnya pada 2009 Polri melakukan ‘kriminalisasi’ kepada pimpinan KPK. Kasus yang menimpa dua Pimpinan KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto menjadi skandal hukum terbesar saat itu. (Baca Juga: Drama Cicak vs Buaya Warnai Perjalanan Polri di Tahun Kerbau)

    Kasus itu berangkat dari rekaman percakapan Anggodo Widjojo dengan sejumlah orang. Mereka yang diduga terekam suaranya adalah Mantan Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Wisnu Subroto, Anggota Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) I Ketut Sudiharsa, dan beberapa penyidik Mabes Polri. Sedangkan nama Kabareskrim Susno Duadji, Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga, sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat tersebut dalam percakapan itu. (Baca Juga: Rekayasa Kriminalisasi Bibit-Chandra Benar-Benar Terkuak)

    Anggodo merupakan adik tersangka buron korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Departemen Kehutanan, Anggoro Widjojo. Kasus ini sempat diselidiki oleh Kepolisian dan kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan Agung. Namun, karena alasan sosiologis, Kejaksaan Agung menghentikan perkara inidengan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP).  Tak terima dengan terbitnya SKPP itu, Anggodo Widjojo selaku pihak ketiga yang berkepentingan dalam posisinya sebagai pelapor dugaan tindak pidana Bibit-Chandra mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. (Baca Juga: Presiden Bentuk Tim Independen atas Kasus Bibit-Chandra)

    Majelis hakim mengabulkan praperadilan tersebut dan menyatakan penuntutan Bibit-Chandra harus diteruskan. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Lalu, pihak Kejagung mengajukan PK terhadap putusan itu.Akhirnya, Kejaksaan Agung melakukan Seponeer(lazim dikenal deponeer) perkara Bibit-Chandra, meski dengan catatan. Kejaksaan Agung masih akan mengevaluasi putusan PK jaksa atas pembatalan SKPP sebelum mengambil keputusan akhir. 

Komentar

Postingan Populer